Pengertian
Ibadah Dalam Islam1
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri
kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai
dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang
mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini
adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati,
lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah
(cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah
ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan
dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah
qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang
berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan
penciptaan manusia. Allah berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن
رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki
rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi
makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan
bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah
hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah
mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan
mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia
adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa
yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan
rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap
ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat
hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman
sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ
كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ
وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka
berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa
yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3],
siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4].
Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy
[5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka
ia adalah mukmin muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa
adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah
disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali
dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata,
bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan
konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas
beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat
kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau
ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
بَلَىٰ
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan
barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada
mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri)
artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan)
artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti
agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan
kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan
bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
فَمَن
كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan
janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.”
[Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan
manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah,
Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak
beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita
wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah
kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari
hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa
semua bid’ah itu sesat.[7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa
hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاعْبُدِ
اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus
ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak
dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah
semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang
diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya Allah telah
menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah
sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa
agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap
orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap
orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya,
maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya
karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan
perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan
dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah
kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan
hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak
disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk
menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan
untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung
jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah
bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke
derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga
bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan
sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah,
fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan
minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada
Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada
kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan
subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali
dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak
akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan
beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau
kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah
semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada
kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan
perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan
tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang
hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia
menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli
ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang
dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan
dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia
lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati
melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia
beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling
dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah
bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai
kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika
dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa
sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga,
bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan
dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan
rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa
besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar
bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk
Surga dan selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar
Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar