Catatan Senja
Sendiri
aku menatap langit sore melalui kaca bus yang mengantarkan aku pulang ke
kontrakan di daerah Cawang. Sengaja aku mengambil bangku tidak terlalu di
sudut, dengan alasan agar mudah keluar masuk bila ada orangtua atau ibu-ibu
yang berdiri dan menawarkan bangku untuknya. Namun hari ini rasanya ada yang
beda. Tidak terlalu banyak penumpang yang berada di dalam bus seperti hari-hari
sebelumnya. Bahkan, beberapa shelter bus dilewati untuk menaik dan menurunkan
penumpang tidak begitu berpengaruh pada bangku yang aku duduki. “Bukankah hari
ini adalah hari libur?”, benakku bertanya. “Ah, mungkin banyak yang
menghabiskan libur panjang akhir pekan keluar kota.” Wajar saja, sebab ini
adalah hari Jumat dan merupakan awal libur panjang di akhir pekan ini.
Kubenahi
dudukku kembali, sesaat setelah aku transit di Halte Harmoni. Kutempati tempat
duduk yang posisinya sama persis dengan tempat dudukku di bus sebelumnya.
Bangku pertama setelah pintu dekat dengan jendela, selalu menjadi tempat duduk
kesukaanku. Selain aku ingin menghabiskan waktu menikmati perjalananku
memandang kota ini aku juga tidak perlu berpura-pura kesulitan keluar bila
ingin berganti duduk dengan penumpang prioritas. Yah, seperti kebanyakan
pengguna bus, sengaja mengambil tempat duduk pojokan, berpura-pura tidur dengan
memakai headset, agar tidak berganti duduk dengan penumpang prioritas. Bahkan
ada diantara mereka terkadang menggunakan tempat duduk yang tidak seharusnya
dia gunakan, namun seolah tidak melihat tanda, duduk dan pura-pura tidur,
sampai kondektur yang bertugas membangunkan. Aku pribadi tidak pernah mau ikut
campur dengan sikap para penumpang yang seperti itu pun tidak mau menghukum
mungkin saja dia kelelahan sehabis bekerja sehingga dia membutuhkan tempat
duduk di dalam bus. Daripada menghukum mereka, ada baiknya memberi contoh pada
para penumpang yang masih muda. Karena terkadang, beberapa dari penumpang ada
yang terkesan malu untuk memulai pertama menawarkan, namun setelah melihat
penumpang lain menawarkan berganti duduk, selalu ada yang mengikuti.
Termasuk
perjalanan yang nyaman sore ini, bahkan dari Stasiun Kota hingga ke Halte
Matraman aku sama sekali tidak beranjak dari tempat dudukku. Bahkan aku
tenggelam dalam lamunan sepanjang jalan sembari memandang setiap bangunan kota
ini dari dalam bus. Lamunan yang menghantarkan aku ke waktu setahun yang lalu
dimana untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di kota ini, ibukota
negara, Jakarta. Irama lagu dari pemutar musik milikku semakin membawa aku
hanyut pada kenangan saat-saat akan pindah ke kota ini. Aku sebut pindah karena
aku ingin memulai sesuatu yang baru lagi di kota ini, walaupun hal sebenarnya
adalah aku lari menghindar dari masalah yang aku miliki sebelum aku berada di
kota ini. Aku sendiri masih bingung, apakah aku benar-benar lari dari masalahku
atau sudah menjadi keputusan yang baik aku meninggalkan kotaku, kota dimana
berjuta kenangan dan sejarah perjalanan hidupku terbentuk, yang menjadikan aku
seperti sekarang ini.
Menjadi
pribadi seperti sekarang ini, cukup sulit mendefenisikannya. Karena aku sekarang
ini bukanlah orang terpandang di lingkungan kerja ataupun di lingkungan
masyarakat, bahkan di keluarga, aku sendiri tidak tahu apa namaku masih ada di
dalam kartu keluarga atau tidak. Cukup sederhana mendefenisikan pribadi seperti
apa aku sekarang. Aku bukanlah siapa-siapa, terkhususnya di kota ini. Dan hari
ini, genap setahun aku memulai hidup baruku, dan aku merayakannya dengan
berkeliling kota ini sembari mengulas kembali setahun perjalanan hidupku di
kota yang baru ini, agar aku bisa mencapai kembali tujuanku, mengembalikan
kebahagiaan serta duniaku berupa komunitas kecil yang dipenuhi cinta dan kasih
sayang yang kusebut sebagai keluarga.
“Pemberhentian
berikutnya, Halte Matraman!”, seru kondektur wanita yang bertugas di bus
transjakarta membuyarkan lamunanku sepanjang jalan. Aku lirik jam tanganku
sesaat menoleh ke arah langit sore, menunjukan 17:48. Seketika badanku beranjak
dari tempat dudukku seakan ada yang menariknya, sesaat batinku berseru “belum
terlalu malam!” Aku turun dari bus yang kutumpangi setelah pintu otomatis
terbuka. “Hhmm, benar-benar sepi.” Aku bergumam. Kutelusuri koridor keluar dari
halte menuju jembatan penyebrangan ke arah Gramedia. Kulangkahkan santai
kakiku, sembari menyulut sebatang Marlb*ro putih, menikmatinya perlahan seiring
langkah santaiku. Hingga sesaat aku terhenti menghadap ke arah jalan, sementara
aku menghabiskan sisa puntung rok*kku menikmati suasana kota yang sepi.
Kerlap-kerlip frekuensi yang berbeda dari jajaran lampu jalan dan lampu-lampu
gedung serta cahya dari lampu kendaraan yang berlalu lalang, menemani dan
menghiasi pandangan mataku menghabiskan sore ini.
“Boleh
saya bawa tas ke dalam, Pak?” tanyaku pada seorang security yang bertugas untuk
memastikan kamera dan alat elektronik milikku yang lainnya boleh ikut serta
masuk bersamaku. “Iya, silahkan mas.” Jawaban ramah kuterima dari dirinya.
Saling melempar senyum, kulangkahkan kakiku masuk menyusuri tiap-tiap rak di
toko itu. “Hhmmmm, aromanya sama.” Batinku berujar saat kuhirup aroma khas toko
itu. Aroma yang mengingatkan aku dengan Gramedia lainnya di kota yang lainnya
pula. Banyak kenangan yang kumiliki di toko buku milik perusahaan percetakaan
ini. “Apakah aku hendak mengenangnya hingga aku datang kesini?” Bahkan aku
berbicara pada diriku sendiri yang tersenyum. “Bodoh, ini sudah setahun aku
tidak berkunjung ke toko buku ini!” batinku meneruskan mencoba untuk melihat
toko buku ini dari sisi lainnya. Karena tidak seharusnya aku melihat semua hal
dari perspektif yang selalu sama, walaupun kemana aku melangkah keseragaman
budaya dan kesibukan sosial hampir sama di setiap kota. Dengan kata lain, bila
terlalu sering aku mengaitkan dengan segala hal yang telah berlalu, maka akan
aku temui setiap masa laluku di setiap kota yang aku jalani. Bahkan pun tidak
pernah ada yang menyalahkan bila engkau mengenang semua masa lalumu, yang
membuat dirimu terpuruk tanpa memaafkan semuanya itu lah yang menjadikan masa
lalu itu menjadi tali rajut yang lambat laun melilit lehermu.
Aroma
dari buku-buku yang tersusun rapi perlahan kuhirup seiring dengan langkah
kakiku menelusuri setiap rak buku. Tidak ada rencana untuk membeli buku,
sementara buku yang pernah kubeli masih ada yang belum selesai aku baca, namun
aku terus menyusuri rak demi rak melihat buku-buku terbitan terbaru selama setahun
atau pun yang menarik untuk dibaca. Sesaat memasuki salah satu lorong yang
raknya dipenuhi novel-novel terjemahan, kulihat sepasang muda mudi yang tengah
ngoborol pelan. Tidak terlalu jelas apa yang mereka obrolkan, pun aku tidak
terlalu peduli apa yang mereka bicarakan. Aku hanya peduli pada isi kepalaku
yang tiba-tiba memutar kenangan yang persis sama diterima dua bola mataku saat
memandang mereka. “Tempat kencan terbaik buat kalian”, gumamku dalam hati.
Lorong sempit ditemani buku dengan suasa hening akan mampu menciptakan cerita
baru dalam hidupmu. Setiap kata-kata dalam novel yang sedang kalian bahas tiada
lebih indah dan berkesan dibandingkan saat kebersamaan itu sendiri. Seperti
halnya kenangan indah yang tiba-tiba berputar setelah memandang mereka,
layaknya sebuah film documenter yang diputar hingga aku ingat setiap detailnya.
Bersama seseorang yang bahkan hari ini tidak pernah kutemui lagi dan tidak tahu
dimana dirinya sekarang.
“Hey,
Fakultas apa?” tanyaku pada seorang wanita yang aku pikir seumuranku, kala itu
dibalik rak buku di sebuah perpustakaan kampus. Sederhana perkenalan kami kala
itu terjadi begitu saja. Tubuhku beranjak sendiri dari bangku tempatku membaca
menghampiri dirinya di pojokan rak buku. Kuperkenalkan diriku dengan gugup karena
mencoba membuat suasana nyaman baginya di perkenalan awal kami. Dia membalas
perkenalanku dengan ramah, begitulah awalnya aku mengenal dirinya, tidak ada
yang manis hanya senyumannya yang manis. Senyuman yang mampu memalingkan
pandanganku dari buku bacaanku ketika dia lewat dari hadapanku yang tersenyum
pada seseorang yang lainnya di sekitaran meja tempat aku membaca. “Mau pulang
bareng?” Tanya seseorang yang aku pikir adalah temannya, cukup mengejutkan kami
berdua, padahal bukanlah suara yang keras yang darinya, mungkin kami yang
terlalu asik dengan obrolan kami. “Pulang bareng aku aja mau?” Setengah
berbisik aku mengatakannya, yang sebenarnya kata-kata itu hanya ada di dalam
otakku entah mengapa bibirku mengucapkannya. Mungkin saja tubuhku sudah mulai rileks
dibandingkan awal perkenalan tadi sekarang lepas dari kendali otakku sendiri.
“Ehh, aku bentar lagi, kalau udah selesai duluan aja!” Jawaban dari orang asing
di hadapanku ini bahkan sempat membuat aku sempat menahan nafasku. Orang asing
yang kutemui di lorong rak buku yang akhirnya kami saling berkenalan dan saling
berbagi di setiap hari-hari kami hingga pada akhirnya semesta memanggil untuk
memisahkan kami sebagai orang yang asing pula saat ini.
Kuhela
panjang nafas ku di putaran rak buku terakhir, berusaha menghentikan putaran
kenangan yang saat ini bekerja di kepalaku. Sebuah buku yang sempat aku ambil
dari salah satu rak, kubawa menuju meja kasir untuk kubayarkan. Walaupun tidak
ada rencana untuk membeli buku namun tetap saja selalu ada buku yang aku beli.
Segera
aku melangkah keluar setelah kubayar dan kusimpan buku itu. Berhenti sejenak
beberapa langkah setelah pintu keluar, kurogoh saku celanaku mengambil rokok
yang hendak aku hisap menuju jembatan penyebrangan kembali ke Halte Matraman.
Kuhirup dalam kepulan asap pertama, sembari melakukan pereganggan leher.
Seketika pandanganku gelap sesaat kepulan asap yang kedua kalinya kuhirup. Apa
karena mataku terpicing rapat hingga pandanganku gelap seketika atau aku memang
lagi tidak mampu memandang apa-apa, aku sendiri tidak tahu. Karena otakku
sendiri merespon rasa sakit di dadaku yang kucoba meremasnya untuk menekan rasa
nyeri itu sendiri. Aku terjatuh, hingga lututku membentur lantai yang hendak
menopang tubuhku. Rasa sakit yang semakin menjadi membuat aku meringis mencoba
mencari bantuan, aku bahkan tidak tahu apa sekelilingku ada yang
memperhatikanku atau malah membiarkan aku begitu saja. “Tolong aku!” Tidak
tahan dengan rasa sakit yang semakin menjadi di dadaku, kucoba berteriak,
walaupun sebenarnya aku tidak tahu apakah teriakanku didengarkan sekelilingku
atau tidak. Tangan kanan dan kiriku bersamaan meremas sesuatu, entah mana yang
meremas dadaku, aku pun tidak tahu. Hanya rasa sakit dan kegelapan yang
kurasakan.
Ternyata
benar, saat dirimu diambang kematian otakmu akan bekerja lebih cepat. Memutar
semua hal yang pernah terlintas dalam hidupmu. Mengembalikan semua kenangan
sebelum kenangan itu dihapuskan, aku sendiri tidak mengerti karena otakku
bekerja sendirinya. Menatap bayangan diriku yang berdiri sendiri berseberangan
dengan orang-orang yang kukasihi, seakan mereka semakin menjauh meninggalkan
aku sendiri. Semua hal yang sempat tersimpan di dalam benakku seolah berputar
begitu cepat di hadapanku, meninggalkan aku yang diam terpaku. Beginikah akhir
hidupku? Jalan sepi yang kutemui, kujalani hanya sesaat untuk kembali
memperbaiki setiap kesalahan dan membangun kembali hidupku akankah berakhir
sampai disini? Apakah aku akan mati? Tidak adakah kesempatan buatku untuk
mengembalikan semuanya? Apakah aku ditakdirkan untuk mati seperti ini? Mati
dalam sepi ditemani pertanyaan-pertanyaan yang secara perlahan tidak lagi mampu
aku pertanyakan dalam kepalaku (titik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar