Tiga Ketimpangan dalam
Memahami Pesantren
Di dunia pesantren, ada ragam ketimpangan yang terjadi.
Setidaknya ada beberapa hal yang patut didiskusikan. Pertama, pemaknaan kiai
dan ulama. Persoalan ini harus dipahami secara mendalam agar tidak menimbulkan
ketimpangan baru.
Hal ini dikatakan Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir saat
menjadi pembicara sesi kedua pada Halaqah Ulama yang dihelat oleh Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI di Hotel Singgasana Jl
Gunungsari Surabaya, (2/12), siang.
Kiai Afif menjelaskan, antara kiai dan ulama memiliki perbedaan
signifikan, baik khusus maupun umum.
“Menurut saya, ulama itu adalah man jama’a baina al-khasyyah wa
al-fiqh (orang yang menggabungkan antara ketakutan kepada Allah dengan keilmuan
mendalam). Sementara kiai belum tentu ulama. Mereka kadang keilmuannya tak
mendalam apalagi takut kepada Allah,” jelas Kiai Afif.
Di Madura, lanjutnya, banyak kiai namun tak layak disebut ulama
lantaran keilmuannya sangat tidak mumpuni. Sementara di tempat lain ada yang
kualitas keilmuan sangat tinggi namun justru tidak disebut kiai, seperti Prof
Dr M Quraish Shihab yang terkenal sebagai mufassir Indonesia abad ini.
“Saya kira, topik diskusi hari ini bukan meningkatkan pesantren,
tapi mengembalikan nilai-nilai yang hilang (dari pesantren-red),” tegas Wakil
Pengasuh Bagian Ilmiah Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo Jawa Timur ini.
Menurutnya, ketimpangan yang mendasar di pesantren ada tiga.
Pertama, musykilat al-futhur al-himam. Sekarang ini banyak pesantren yang
memiliki sekolah formal para santrinya justru mengatakan sekolah sambil
mengaji, bukan sebaliknya, mengaji sambil sekolah. Jadi, adanya kesalahan niat
ini menjadikan para santri gamang. Sehingga yang jarang bercita-cita tinggi
untuk menjadi ulama seperti Mbah Hasyim Asy’ari, apalagi seperti ulama
sekaliber Imam Syafi’i.
Yang kedua, lanjutnya, musykilat al-mutalaqqi. Dari siapa orang
mendapat ilmu? Ada yang menjawab dari internet, dari buku, dan lainnya. Menurut
Kiai Afif, Khudhori Beik dalam kitab Tarikh Tasyri’ al-Islamiy berpendapat
bahwa kitab tidak layak dijadikan guru. Yang menjadi guru harus manusia,
khususnya yang memiliki kebaikan dan kesantunan.
“Jika tidak berguru, bukan tidak mungkin gurunya adalah setan.
Dampaknya adalah kesalahpahaman terhadap ilmu tersebut. Pada dasarnya, ilmu
yang mestinya indah menjadi tidak indah lantaran tidak disampaikan dengan
indah,” ujarnya.
Yang ketiga, tambahnya, musykilat al-kutub al-muqarrarah.
Baginya, kriteria kitab kuning (Kutub al-Turats) musti dipahami. Mengutip
pendapat mufti Mesir, kutub al-turats adalah kitab yang dikarang kira-kira 100
tahun silam. (ali musthofa asrori/mukafi
niam/NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar